Loading...
Selasa, 04 November 2014

Status Hukum Anak Hasil Zina dalam Islam

http://sumberhukumislam-dua.blogspot.com/
Manusia dibekali nafsu birahi dengan tujuan untuk mempertahankan garis keturunannya. Islam menetapkan lembaga pernikahan sebagai media untuk menyalurkan nafsunya secara legal. Namun seolah tidak pernah berhenti, setan selalu saja menggoda manusia dengan menggelitik nafsu birahinya, sehingga sejak dulu hingga nanti hari kiamat, kasus perzinahan akan terus terjadi. Bahkan tidak jarang dari tindakan asusila tersebut melahirkan anak.

Bagaimanakah Islam memandang status anak hasil zina secara perdata?
  • QS. Al Isro’, ayat 32:
    Dan jangalah kalian dekat-dekat dengan zina, karena sesungguhnya zina itu kotor dan sejelek-jeleknya jalan.QS. An-Nur, ayat 33:
  • Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka[1], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[2]. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu[3].Nabi saw bersabda:
  • Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya. (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
  • Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
    Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
    1. Nasab Anak Zina.
      Jika seorang anak yang lahir dari hasil zina sebelum 6 bulan masa kehamilan:
      • Menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dapat dinasabkan kepada bapaknya. Akan tetapi jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, maka dinasabkan kepada ibunya saja, karena diduga ibunya telah melakukan hubungan badan dengan orang lain, sedangkan batas waktu hamil, minimal enam bulan. Artinya tidak ada hubungan kewarisan  antara anak zina dengan ayahnya.
      • Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.
    2. Hak Waris Anak Zina.
      Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan ayahnya ada dengan keberadaan salah satu diantara sebab-sebab pewarisan yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada ayah biologisnya, maka konsekuensinya adalah tidak ada waris-mewarisi diantara keduanya. Dengan demikian, anak zina tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya. Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari anak hasil perbuatan zinanya.
    3. Hak Wali atas Anak Zina.
      Lanjutan dari konsekuensi tidak adanya nasab antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya, maka jika anak hasil zina tersebut berjenis kelamin perempuan, yang menjadi wali adalah wali hakim. Wali hakim adalah wali yang diangkat dan diberi hak menikahkan oleh pemerintah yang dalam konteks lembaga pemerintahan di Indonesia diwakili oleh Pegawai Kantor Urusan Agama.
    4. Hubungan Mahram Anak Zina dengan Ayah Biologisnya.
      Menurut pendapat Imam Syafi’i, anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga jika ia perempuan, ayah biologisnya tersebut dapat menikahinya.
      Sedangkan menurut pendapat Abu Hanifah, anak zina haram hukumnya untuk dinikahi oleh ayah biologisnya.
      Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan adanya perbedaan pemahaman tentang makna pernikahan. Menurut Imam Syafi’i, “nikah” berarti akad. Sedangkan menurut Abu Hanifah, “nikah” berarti jima’.

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP